Perkebunan kelapa sawit merupakan industri yang seksi sekaligus strategis. Namun di sisi lain, banyak isu negatif yang terus ditargetkan pada perkebunan sawit dan mempertanyakan kontribusinya bagi kawasan sekitar.
Indonesia kembali menduduki posisi sebagai negara dengan penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia. Jumlah produksinya pun mencapai dua kali lipat lebih besar dibandingkan Malaysia yang selama bertahun-tahun bertengger di peringkat puncak.
Tingginya tingkat produksi ini pun dibarengi dengan kian meluasnya perkebunan kelapa sawit yang menembus 14,6 juta hektare (ha) per 2019.
Devisa yang disumbangkan oleh industri sawit pun tidak main-main. Bahkan di tengah pandemi yang menghantam perekonomian global, ekspor kelapa sawit mampu menghasilkan devisa senilai Rp351,5 triliun di tahun 2020 sebagaimana disampaikan oleh Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI Monitor), Tungkot Sipayung.
Industri dan Perkebunan Kelapa Sawit Didera Isu
Kendati begitu, di tengah berita segar tentang kelapa sawit, industri yang satu ini tetap saja dibanjiri beragam isu. Perkebunan kelapa sawit dinilai merusak lingkungan, mulai dari kebakaran hutan dan lahan, hilangnya hutan tropis, dan lain-lain. Bahkan, produk minyak sawit yang tidak baik bagi kesehatan juga sempat santer dikabarkan dan menjadi ramai diperbincangkan publik beberapa waktu lalu.
Berbagai isu ini pun menimbulkan ketegangan dan kesenjangan di beberapa pihak. Nyatanya, industri maupun perkebunan kelapa sawit tidak sepenuhnya menjadi satu-satunya faktor penyebab isu yang disebar.
Seperti contoh, kerusakan lingkungan di kawasan Kalimantan kerap menyalahkan pihak industri perkebunan. Padahal faktanya, deforestasi atau pembabatan hutan tidak sepenuhnya dikarenakan perkebunan sawit.
Pembukaan lahan untuk pemukiman, pertanian, dan yang lainnya juga turut berperan dalam mengganggu keseimbangan lingkungan. Industri perkebunan sawit menjadi yang lebih mudah tertuduh lantaran posisinya yang paling ‘strategis’ untuk menjadi kambing hitam.
Selain itu, produk minyak sawit juga tidak selalu minyak goreng yang kerap dipermasalahkan tentang dampaknya bagi kesehatan tubuh. Realitanya, selama dikonsumsi secara moderat sesuai kondisi tubuh, minyak sawit justru dapat membantu menjaga dan meningkatkan kesehatan.
Sebuah studi menunjukkan bahwa minyak sawit mengandung tocotrienol, yakni jenis vitamin E dengan kandungan antioksidan yang cukup kuat guna mendukung kesehatan otak, mengurangi risiko demensia dan stroke, dan mencegah pertumbuhan tumor otak.
Pun produk minyak sawit dapat dimanfaatkan di berbagai produk sehari-hari lainnya. Seperti contoh, minyak sawit dan turunannya juga menjadi kandungan dalam produk sampo, deterjen, sabun, kosmetik, biskuit, cokelat roti, susu formula bayi, dan sederet lainnya.
Kontribusi Perkebunan Kelapa Sawit untuk Daerah Sekitar
Peran strategis industri perkebunan kelapa sawit dalam mendorong ekonomi Indonesia tidak terbantahkan. Namun, bagaimana sesungguhnya kontribusi perkebunan sawit untuk kawasan sekitarnya sendiri?
Membuka Lapangan Kerja
Keberadaan tiap industri selalu membuka lapangan kerja baru sehingga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat meski dalam skala kecil sekalipun. Dalam konteks industri kelapa sawit, jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai jutaan jiwa.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara webinar internasional bertajuk Sustainable Palm Oil Development in Indonesia pada 7 April 2021. Kini, industri kelapa sawit telah menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi 16 juta tenaga kerja.
Adapun secara spesifik, jumlah pekebun yang bekerja di sektor kelapa sawit per 2020 mencapai 2,68 juta keluarga dan 4,45 juta individu. Angka tersebut setara dengan dengan 11,65% jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan per Agustus 2020 yang mencapai 38,2 juta orang.
Jika dikalkulasi berdasarkan jumlah orang yang masih bekerja di Agustus 2020—mengingat dampak pandemi banyak membuat perusahaan memberlakukan layoff—maka diketahui bahwa jumlah individu dari sektor kebun kelapa sawit mencapai 128,4 juta orang.
Lebih lanjut, tiga sebaran provinsi dengan petani sawit terbanyak seluruhnya ada di Sumatera.
Posisi pertama adalah Provinsi Riau dengan cakupan 21 persen dari total petani sawit di Indonesia dan disusul Sumatera Selatan dengan jumlah petani sawit mencapai 10,24 persen dari jumlah secara nasional. Sementara itu di posisi ketiga, Jambi mengukuhkan dirinya dengan persentase sebesar 9,71 persen.
Peningkatan Daya Beli Masyarakat
Masih berkaitan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, kesejahteraan pekerja perkebunan kelapa sawit juga turut meningkat. Salah satu faktornya adalah dengan kenaikan daya beli.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa ada peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP) yang menunjukkan kenaikan tingkat daya beli pada Desember 2020.
Pada periode tersebut tercatat bahwa NTP berada 103,25 yang berarti 0,37 persen lebih tinggi dibandingkan November 2020. Hal tersebut menunjukkan bahwa indeks yang diterima oleh petani lebih tinggi dibandingkan indeks yang dibayarkan petani.
Indeks harga yang diterima petani mengalami peningkatan sebesar 0,82 menjadi 107,46. Sementara itu, indeks harga yang dibayarkan petani juga mengalami peningkatan. Namun, angkanya lebih kecil, yakni peningkatan sebesar 0,44 menjadi 105,72.
Penilaian tersebut merupakan perhitungan untuk seluruh komoditas. Kendati begitu, jika dibedah lebih dalam, terlihat bahwa andil inflasi komoditas NTP terbesar berasal dari kelapa sawit dengan total 1,6 persen. Angka ini bahkan lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan NTP dari komoditas yang menduduki peringkat dua, yakni karet dengan 0,54 persen.
Selanjutnya, berturut-turut angka NTP tertinggi berasal dari komoditas bawang merah sebesar 0,2 persen, tebu sebesar 0,16 persen, kelapa sebesar 0,15 persen, telur ayam ras sebesar 0,1 persen, jagung sebesar 0,1 persen, lada/merica sebesar 0,8 persen, petai sebesar 0,07 persen, dan tomat sebesar 0,05 persen.
Memungkinkan Munculnya Penambahan Jenis Spesies
Indonesia menyadari pentingnya pelestarian satwa liar serta ragam tumbuhan awal. Maka dari itu, Undang-Undang menetapkan setidaknya 30 persen luas daratan dipergunakan untuk kawasan lindung bagi satwa liar maupun tumbuhan alam. Adapun daratan khusus tersebut merupakan konservasi yang tidak boleh dikonversi ke dalam penggunaan lainnya.
Maka dari itu, habitat satwa liar dan kebun sawit berada di kawasan yang berbeda dan tidak saling bercampur. Dalam buku Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika Indonesia dan Journal of Oil Palm disebutkan bahwa sekitar 98 persen dari 23 perkebunan skala besar di enam provinsi di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan. Bahkan secara spesifik, nyaris 67 persen kebun sawit justru berasal dari lahan semak belukar, ladang, dan bekas kebun karet.
Hal ini menjadi dasar bahwa kebun sawit tidak semestinya diklaim sebagai penyebab musnahnya semua keanekaragaman hayati. Sebagian spesies mungkin terdampak negatif, tetapi pada sebagian lainnya justru dapat memberi dampak positif dengan adanya penambahan jenis spesies.
Industri perkebunan kelapa sawit merupakan bidang yang sangat strategis sehingga sangat mungkin terdampak berbagai isu. Oleh sebab itu, pengelolaan bisnis harus dilakukan dengan profesional sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Tak lupa, keikutsertaan dalam pelatihan dan sertifikasi terkait kelapa sawit seperti di Mutu Institute menjadi salah satu upaya tersendiri untuk mempertahankan dan meningkatkan kredibilitas serta kualitas perusahaan.
Tak cuma soal industri kelapa sawit seperti ISPO, pelatihan dan sertifikasi terkait keselamatan dan kesehatan kerja (K3) juga dapat menjadi bekal tersendiri untuk meminimalkan terjadinya berbagai lemparan isu lain di masa mendatang.