Kehadiran UU Cipta Kerja tentang sertifikasi halal menjadi solusi yang memudahkan pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban sesuai UU No. 33 Tahun 2014 tentang JPH.
UU Cipta Kerja merupakan salah satu produk hukum yang memberi berbagai kemudahan bagi masyarakat Indonesia. Undang-Undang ini memberikan penyederhanaan dan percepatan proses perizinan usaha di Indonesia yang sebelumnya terkesan masih cukup kompleks.
Selain itu, ada pula kemudahan dari UU Cipta Kerja tentang sertifikasi halal yang akan membantu pelaku UMK untuk melaksanakan kewajiban mereka.
Kewajiban Sertifikasi Halal Produk
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU No. 33 Tahun 2014 tentang JPH), sertifikasi halal pada suatu produk tidaklah wajib.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama sekitar tiga dekade menjadi pihak yang berwenang dalam melakukan sertifikasi halal produk. Wewenang tersebut muncul setelah ramainya isu tentang kandungan babi dalam beberapa produk yang marak pada sekitar awal 1980-an.
Pengujian kehalalan produk pada saat itu pun hanya berlaku untuk produk yang dicurigai memiliki kandungan bahan babi dan turunannya.
Namun seiring waktu, sertifikasi halal merambah ke banyak produk lainnya.
Aktivitas sertifikasi halal dalam rentang waktu tersebut juga tidak bersifat wajib. Pelaku usaha secara sukarela melakukan permohonan pengajuan sertifikasi. Hal ini tidak lepas untuk mengamankan bisnis mereka.
Dengan adanya label halal dari MUI pada produk yang dimiliki di tengah masifnya isu tentang kandungan babi, tentu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan berujung pada omzet.
Namun, UU No. 33 Tahun 2014 kemudian mengganti kebijakan tersebut. Undang-Undang ini mewajibkan seluruh produk yang ada di Indonesia melalui proses sertifikasi.
Hal ini sesuai dengan Pasal 4 yang berbunyi:
“Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal“
Di samping itu, MUI tidak lagi menjadi pihak yang berwenang untuk melakukan proses sertifikasi. Wewenang tersebut kini ada berada di Badan Jaminan Produk Halal (BPJPH), yakni badan yang dibentuk pemerintah untuk melakukan fungsi Jaminan Produk Halal (JPH).
Adapun daftar wewenang BPJPH sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2014 adalah sebagai berikut.
- Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
- menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
- menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
- melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;
- melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
- melakukan akreditasi terhadap LPH;
- melakukan registrasi Auditor Halal;
- melakukan pengawasan terhadap JPH;
- melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
- melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Kendati begitu, MUI bukannya sama sekali hilang peranannya dalam sertifikasi halal produk.
BPJPH menjadi pintu masuk permohonan sertifikasi halal sebuah produk. Setelah itu, pihak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) akan melakukan pengujian dan pemeriksaan kehalalan produk yang diajukan. Hasil dari pengujian dan pemeriksaan tersebut lalu dilaporkan ke MUI.
MUI akan mengeluarkan fatwa halal atau tidaknya produk tersebut. Fatwa itu kemudian disampaikan ke BPJPH untuk kemudian BPJPH mengeluarkan sertifikat halalnya (apabila diputuskan halal).
UMK Wajib Melakukan Sertifikasi Halal
Munculnya kewajiban sertifikasi halal menimbulkan polemik tersendiri khususnya bagi pelaku UMK. Salah satu penyebabnya adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak UMK sendiri guna melakukan sertifikasi halal yang diharuskan sebagaimana tertuang dalam Pasal 44 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2014.
Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
Kewajiban sertifikasi halal tersebut berlaku sejak tahun 17 Oktober 2019. Berita baiknya, pemerintah menyatakan bahwa pemberlakuan kewajiban tersebut tidak serta-merta diimplementasikan secara serentak. Pemerintah akan melakukan pembinaan sekaligus sosialisasi secara masif hingga lima tahun berikutnya, yakni 2024.
Dengan begitu, masih ada waktu bagi UMK untuk melakukan penyesuaian dan persiapan. Adapun usaha yang sudah diwajibkan untuk melakukan sertifikasi halal adalah perusahaan yang sudah melakukan sertifikasi halal sebelum diberlakukannya aturan baru tersebut.
Mereka harus tetap melakukan sertifikasi untuk menjalankan komitmen menjaga kehalalan produk.
Selain itu, prosedur administrasi sertifikasi halal juga terbilang cukup panjang. Hal ini berpotensi membingungkan dan mempersulit pelaku usaha mikro khususnya untuk melakukan pemenuhan kewajiban tersebut.
UU Cipta Kerja tentang Sertifikasi Halal

Poin-poin UU Cipta Kerja tentang sertifikasi halal menjadi salah satu poin yang cukup banyak disorot. Hal ini tidak lepas dari masih cukup banyaknya keberatan masyarakat yang sempat menjadi kontroversi sendiri terkait kebijakan wajibnya sertifikasi halal produk bagi seluruh pelaku usaha tanpa pandang bulu terkait skala usaha yang sedang dijajaki.
Tercatat setidaknya sebanyak 22 pasal yang ada di dalam UU No. 33 Tahun 2014 mengalami perubahan dan penambahan 2 pasal baru dengan adanya UU Cipta Kerja. Beberapa perubahan tersebut antara lain terkait dengan kerja sama BPJPH, LPH, penyelia halal, auditor halal, proses bisnis sertifikasi halal, sertifikat halal, label halal, deklarasi mandiri, dan sanksi administratif.
Kehadiran UU Cipta Kerja Mempermudah Proses Sertifikasi Halal
Seperti contoh, berikut adalah beberapa poin dalam UU Cipta Kerja yang dinilai mempermudah proses sertifikasi halal.
- Pasal 35 UU No. 33 Tahun 2014 menyebut bahwa BPJPH mengeluarkan sertifikat halal paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak dikeluarkannya keputusan MUI tentang kehalalan produk tersebut.
Sementara itu, UU Cipta Kerja mengubah bahwa durasi waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan sertifikat tersebut adalah 1 (satu) hari kerja sejak dikeluarkannya fatwa halal oleh MUI.
- Apabila dihitung total, proses sertifikasi halal produk sesuai UU No. 33 Tahun 2014 membutuhkan waktu hingga lebih dari tiga bulan. Proses sertifikasi halal untuk produk dalam negeri adalah selama 97 hari kerja, sedangkan sertifikasi halal untuk produk luar negeri adalah 117 hari kerja.
UU Cipta Kerja mempersingkat durasi tersebut menjadi 21 hari kerja saja. Perbedaan yang sangat signifikan ini tentu sangat membantu bagi pemilik usaha. Adapun pemangkasan tersebut meliputi seluruh proses bisnis layanan sertifikasi halal, baik di BPH, LPH, maupun MUI.
- UU No. 33 Tahun 2014 menyebut bahwa pelaku UMK bisa mendapat bantuan dalam hal pembiayaan sertifikasi halal. Namun, UU tersebut tidak menjelaskan secara lebih rinci aturan selengkapnya.
Sementara itu di UU Cipta Kerja, UMK mendapat kepastian bahwa sertifikasi halal bisa diperoleh secara gratis, tidak hanya mendapat bantuan sekian persen dari pihak lain. Pembiayaan tersebut dapat berasal dari APBN/APBD, dana kemitraan, bantuan hibah pemerintah atau lembaga lainnya, dan dana bergulir maupun tanggung jawab sosial perusahaan.
Keberadaan poin khusus UU Cipta Kerja tentang sertifikasi halal merupakan salah satu solusi yang sangat membantu pelaku usaha secara khusus dan masyarakat secara umum. Semakin mudah proses sertifikasi halal dilakukan, semakin cepat pula masyarakat mendapat jaminan atas halal atau tidaknya produk yang digunakannya.
Berbagai kemudahan ini tentu akan berdampak pula pada banyaknya tenaga Auditor Halal yang dibutuhkan. Saat ini saja, jumlah Auditor Halal di Indonesia masih sangat jauh dibandingkan kebutuhan ideal.
Oleh karena itu, jika Anda berminat untuk menjadi Auditor Halal, jangan lewatkan kesempatan ini. Persiapkan diri Anda untuk mengikuti sertifikasi Auditor Halal yang diadakan oleh MUI dengan mengikuti pelatihan sertifikasi Auditor Halal di Mutu Institute.
Mutu Institute menjadi tempat yang tepat bagi pelatihan Anda. Tunggu apalagi? Segera hubungi Mutu Institute melalui [email protected] atau 0819-1880-0007.
Sumber:
UU NO. 33 Tahun 2014
https://diy.kemenag.go.id/10635-penjelasan-tentang-jaminan-produk-halal-dalam-uu-cipta-kerja.html
https://economy.okezone.com/read/2020/10/02/320/2287155/dukung-umkm-uu-cipta-kerja-permudah-sertifikasi-halal
Taufik Mutu Institute
Professional Trainer
Kontak Kami
Head Office : GKM Green Tower
Lantai 20 Jl. TB Simatupang.Kav. 89G, RT.10/RW.2, Kebagusan, Kec. Ps. Minggu, Jakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12520
Operational Office I : Jl. Raya Bogor KM 33,5 No.19, Curug, Kec. Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat 16453
Operational Office II : Jl. Raya Jakarta-Bogor KM.31 No.19, Cisalak, Kec. Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat 16416
@copyright PT Forestcitra Sejahtera
Isilah form dibawah ini, tim kami akan segera menghubungi Anda