Industri kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia kerap menemui masalah yang berkepanjangan. Memiliki sertifikasi RSPO bisa jadi salah satu solusi.
Minyak kelapa sawit menyandang status tanaman penghasil minyak nabati tertinggi. Bahkan, per hektar lahan kebunnya mampu memproduksi lebih banyak minyak dibandingkan minyak nabati lain.
Sebagai minyak multiguna, Anda bisa menjumpainya dalam berbagai produk yang dipakai sehari-hari, seperti makanan ringan, produk perawatan tubuh, sampai kosmetik.
Minyak sawit pun jadi komoditi ekspor penting Indonesia. Saat ini 85-90% total produksi minyak sawit global dipenuhi oleh petani sawit Indonesia dan Malaysia.
Meskipun begitu, industri minyak sawit terus menerima gempuran kritikan dari berbagai kalangan, termasuk masalah yang berlarut-larut.
Mendorong perusahaan maupun perkebun sawit swadaya melakukan sertifikasi RSPO boleh jadi merupakan salah satu solusi tepat. Lalu, apa saja permasalahan yang dialami industri minyak sawit berkelanjutan? Mari simak ulasan selengkapnya di bawah ini.
Masalah yang Dihadapi Industri Minyak Sawit Berkelanjutan
Walaupun minyak sawit berkelanjutan kerap dianggap sudah membebaskan industri sawit dari masalah, fakta di lapangan berbicara lain. Masalah akan tetap ada, meski semakin banyak perusahaan perkebunan dan kelompok pekebun swadaya yang sudah melakukan sertifikasi RSPO.
Dari sekian banyak masalah yang dihadapi, inilah lima masalah yang dihadapi industri minyak berkelanjutan.
1. Kampanye negatif tentang minyak sawit
Kampanye negatif terkait industri sawit bukan hal baru. Industri ini diserang dari berbagai sisi, mulai dari isu persaingan ekonomi, isu pembangunan pedesaan, isu sosial, isu gizi dan kesehatan, serta isu lingkungan dan keberlanjutan.
Bahkan, kampanye negatif minyak sawit sudah muncul sejak tahun 1970-an. Memang isu lingkungan termasuk yang paling disorot. Pasalnya, pembukaan lahan kebun sawit hampir selalu mengorbankan hutan. Otomatis aksi ini berdampak pada habitat dan keseimbangan ekosistem lingkungan.
Belakangan, kampanye boikot minyak sawit mencuat secara global. Berbagai cara dilakukan untuk mendiskreditkan citra minyak sawit sebagai komoditi yang merusak lingkungan.
Ditambah isu terkait kehidupan pekerja dan masyarakat adat setempat yang terdampak atas kehadiran perusahaan perkebunan sawit. Gempuran kampanye negatif ini pun sempat berpengaruh pada pasar sawit global.
2. Masalah penerapan prinsip keberlanjutan atau sustainability
Harus diakui upaya melakukan sertifikasi membutuhkan dana, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit. Bagi perusahaan perkebunan skala besar, melakukan sertifikasi RSPO bisa jadi cukup mudah. Namun, menaati standar sertifikasi sebagai komitmen utama pun dapat berubah jadi isu tersendiri.
Di sisi lain, petani kecil dan swadaya membutuhkan usaha ekstra agar mampu mengikuti pelatihan sertifikasi tersebut. Tidak perlu bicarakan dulu soal keikutsertaan pelatihan, kelengkapan dokumen hukum seperti legalitas kepemilikan lahan saja sulit dipenuhi. Apalagi, mereka juga cenderung minim keahlian SDM, finansial, dan kesulitan mengakses berbagai produk hukum yang berlaku.
Tak jarang pula banyak pihak yang memandang prinsip dasar RSPO seperti bertanggung jawab terhadap praktik penanaman baru hanya akan berakhir tumpul. Prinsip ini dipandang tidak cukup mengikat produsen untuk berhenti melakukan deforestasi dalam rangka membuka lebih banyak lahan kebun sawit.
3. Masalah status serta legalitas lahan kebun sawit

Soal status maupun legalitas lahan kebun sawit masih jadi kendala yang kerap mempersulit pelaku usaha. Masih jamak ditemui di lapangan regulasi yang tumpang tindih. Belum lagi urusan izin Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP), kerap muncul perbedaan antara regulasi pemerintah daerah dan pusat.
Contoh lainnya, kerap terjadi perbedaan status lahan yang hendak digunakan untuk memperluas area kebun. Menurut data pemerintah provinsi, lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan.
Namun, pemerintah setempat mengatakan area tersebut bisa difungsikan sebagai lahan kebun sawit. Walhasil, penggundulan hutan tanpa mengetahui kebenaran status lahan tersebut seolah jadi sesuatu yang wajar.
4. Produktivitas perkebunan sawit tergolong rendah
Sekalipun Indonesia adalah produsen sawit terbesar dunia, nyatanya produktivitas kebun sawit negara ini tergolong rendah. Bahkan, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Biaya produksi tinggi jadi salah satu penyebab utamanya. Komponen biaya seperti biaya keamanan dan biaya sosial sulit dihindari oleh perusahaan.
Belum lagi faktor lain terkait teknik budi daya tanaman, genetik, dan lingkungan. Produk sawit berbentuk tandan buah segar (TBS) cenderung lekas rusak dan ruah. Maka, jalur rantai suplai produk wajib terintegrasi vertikal antara produsen atau pemasok, pengolahan, dan pemasaran hasil.
Selain itu, masih banyak petani yang belum menerapkan praktik pengelolaan terbaik atau budi daya tanaman dengan benar. Ditambah terhambatnya perkembangan industri hilir sawit, serta isu sosial lain seperti ketimpangan kepemilikan lahan antara petani kecil dan perusahaan perkebunan besar. Itu semua berdampak pada produktivitas perkebunan sawit nasional.
5. Perbedaan sertifikasi di tiap pasar sawit
Benar bahwa Indonesia menjadi negara pertama yang merilis Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) lewat Peraturan Menteri Pertanian No. 11 Tahun 2015. Namun, regulasi tumpang tindih antara ISPO dan RSPO membuat bingung para pemilik perusahaan perkebunan maupun kelompok pekebun swadaya.
Pasalnya, penerapan SPO wajib mengingat negara importir di Eropa Barat memberlakukan standardisasi RSPO. Tanpa sertifikasi RSPO, akan sulit bagi produsen minyak sawit menembus pasar Eropa. Bukan hal aneh jika importir akan menolak membeli produk yang belum tersertifikasi RSPO.
Sebagai informasi, beda pasar kelapa sawit, berbeda pula sertifikasi yang harus dimiliki perusahaan. Mengantongi satu sertifikat saja kadang belum cukup untuk memenuhi “tuntutan” pasar.
Contoh, industri makanan Eropa meminta standar RSPO, tetapi industri biodiesel Eropa justru mencari sertifikasi ISCC (International Sustainability and Carbon Certification). Sementara itu, pemerintah Indonesia mewajibkan perusahaan perkebunan skala besar untuk memiliki ISPO. Belakangan petani kecil pun juga dikenai aturan demikian.
Sekarang kembali ke keputusan Anda: pasar mana yang dituju. Memiliki ketiga sertifikat di atas tentu jadi opsi ideal, terutama dalam upaya menjaga kredibilitas perusahaan terkait standar produksi minyak sawit berkelanjutan.
Sertifikasi RSPO diharapkan dapat menjadi tiket bagi perusahaan perkebunan atau kelompok pekebun swadaya untuk tetap produktif tanpa mengabaikan isu lingkungan dan sosial dalam industri sawit nasional.
Sertifikasi ini berfungsi menjembatani negara produsen dan negara konsumen ditinjau dari upaya pemenuhan komponen lingkungan dan keberlanjutan.
Di sisi lain, perlu kerja sama antara perusahaan besar dan petani sawit untuk menyebarkan prinsip keberlanjutan ini. Perusahaan besar bisa mengajak petani bermitra dalam mengelola perkebunan kelapa sawit. Petani dibantu perusahaan untuk memperoleh sertifikasi berkelanjutan melalui pelatihan, seminar, dan kegiatan sosialisasi sejenis.
Perusahaan pun mendapat keuntungan karena bisa memperoleh suplai kelapa sawit lebih banyak, tetapi tidak perlu membuka lahan baru. Dengan memaksimalkan lahan yang ada, baik milik perusahaan maupun petani mitra, produksi minyak sawit berkelanjutan bisa terus berjalan sambil berkomitmen pada upaya pelestarian lingkungan.
Terakhir, perlu dukungan penuh dari pemerintah di segala tingkatan untuk menciptakan iklim kondusif agar industri sawit berkelanjutan ini dapat terus berkembang.
Menetapkan peraturan resmi seperti Inpres No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) Tahun 2019-2024 jadi dasar kuat untuk mendukung keberlangsungan industri sawit di masa depan.
Ingin mengikuti Pelatihan dan Sertifikasi RSPO? Belum dapat Lembaga Pelatihan yang terpercaya? Masih bingung dengan syarat dan prosedur Serfikasi RSPO? Segera hubungi kami melalui [email protected] atau 0819-1880-0007. Jangan tunda untuk melakukan Sertifikasi RSPO untuk tetap dapat menjalankan roda bisnis minyak sawit berkelanjutan.
Taufik Mutu Institute
Professional Trainer
Related Post
Kontak Kami
Head Office : GKM Green Tower
Lantai 20 Jl. TB Simatupang.Kav. 89G, RT.10/RW.2, Kebagusan, Kec. Ps. Minggu, Jakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12520
Operational Office I : Jl. Raya Bogor KM 33,5 No.19, Curug, Kec. Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat 16453
Operational Office II : Jl. Raya Jakarta-Bogor KM.31 No.19, Cisalak, Kec. Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat 16416
@copyright PT Forestcitra Sejahtera
Isilah form dibawah ini, tim kami akan segera menghubungi Anda